BERFIKIR DUA KALI (untuk membuang sampah sembarangan)

Monday, December 21, 2009

Suatu hari saya pergi ke suatu tempat di alam terbuka (hiking) bersama dengan beberapa orang teman. Kami tergabung dalam suatu kelompok pecinta alam- Kelompok yang terkenal dengan kegiatan outdoor activitiesnya. Ketika beberapa lama kami berjalan, kami berhenti sejenak untuk beristirahat melepas lelah. Beberapa teman sibuk mengamati peta untuk mencari jalur terbaik untuk dilalui, beberapa ngobrol, dan yang lainnya ngemil. Saya termasuk yang ngemil, saya ambil permen dari saku saya & mengunyah dengan nikmat sambil menikmati alam sekitar.

Selagi menikmati permen, saya pegang bungkus permen, sedikit celingak-celinguk, mencari tempat di mana kira-kira saya bisa buang sampah bungkus permen itu. Tetapi, karena tidak ada tempat yang cocok, saya buang bungkus permen itu di begitu saja di sana, di alam yang seharusnya kami rawat dan pelihara, seperti semboyan kelompok pecinta alam kami.

Saya berpikir mungkin bukan hal yang bermasalah untuk hanya membuang sampah bungkus permen, toh, hanya bungkus permen, satu bungkus permen kecil. “Ah….alam ini terlalu luas untuk hanya sebungkus pemen..” Saya tidak menyadari bahwa seorang teman melihat perbuatan saya itu.
Teman saya ini memang lebih senior dari saya, ia yang mendidik teman seangkatan saya di kelompok pecinta alam ini. Ia tampak memperhatikan bungkus permen yang saya buang itu selama beberapa saat dan kemudian melihat ke arah saya. Tatapannya agak aneh, agak lama terdiam dan cukup tajam. “ ye…buang sampah lagi lo !! gimana sih, pecinta alam buang sampah”, Pungut!!”. Saya tiba-tiba tersentak, bukan karena kaget, bukan karena takut, bukan pula karena ia senior saya.

Saya kaget karena ternyata teman saya ternyata tidak main-main. Ia tidak main-main dengan jargon “menjaga kelestarian alam” yang selalu didengungkan oleh kelompok pecinta alam kami. Ia tidak main-main ketika dulu mengajari kami untuk menjadi pecinta alam sejati. Seorang petualang alam yang tidak boleh meninggalkan apapun di alam kecuali jejak. Bukan petualang kebanyakan. Petualang yang hanya bersenang-senang di alam dan meninggalkan banyak “kenangan” di alam. Kenangan berupa sampah dan botol minuman, dan bahkan tulisan-tulisan di alam sekitar. Tulisan-tulisan yang ingin sekali menegaskan tentang keberadaan mereka di sana, bak prasasti Raja-raja jaman dahulu.


Teman saya masih memegang teguh prinsip itu, bahkan di saat acara jalan-jalan santai seperti yang kami lakukan. “Jadi, itu semua bukan jargon doang ya…”, kira-kira begitu mungkin saya bergumam dalam hati. Sejujurnya saya malu pada saat itu, malu karena ternyata saya belum menjadi seperti apa yang pernah diajarkannya kepada saya. “Ah….kemana saja otak saya, sampai-sampai tidak terpikir untuk sementara membuang sampah itu di kantong…”.
Teman saya benar, seandainya semua orang penikmat alam seperti saya, membuang bungkus permen mereka masing-masing, satu bungkus, dua bungkus, lagi dan lagi…lantas mau jadi apa alam ini?. Mungkin suatu hari yang kita daki bukan lagi gundukan tanah, tapi gundukan sampah.

Sejak kejadian itu, saya sedikit tersadar. Penting sekali untuk benar-benar konsisten. Penting sekali untuk bersikap peduli, benar-benar peduli lingkungan. Penting sekali untuk tidak menjadi orang kebanyakan. Bahkan untuk hal-hal yang (tampak) kecil dan sederhana seperti ini, bungkus pemen.

Mulai hari itu saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya akan lebih memperhatikan hal-hal seperti itu (sampah). Saya berjanji untuk lebih peduli dan berpikir dua kali untuk membuang sampah sembarangan. Jika pada akhirnya saya harus membuang sampah, paling tidak saya sudah berpikir dua kali. Saya pikir itu cukup baik, toh semua orang butuh proses untuk menjadi lebih baik…

Mungkin saya belum benar-benar seorang pecinta alam sejati, seorang yang benar-benar konsisten menjaga alam dan tidak mengotorinya. Terkadang saya masih juga bandel membuang sampah dengan berbagai alasan; tidak ada kantong, tidak bawa tas, tidak ada satupun tempat di pakaian yang melekat di badan, untuk dapat dijadikan TPS (Tempat Pembuangan Sementara), ataupun karena tepat di depan mata saya; di stasiun kereta, terminal bis, pasar-pasar, jalan umum dll, sudah terdapat gundukan sampah yang menjulang tinggi.”Ya…elah…gue repot-repot mikirin tempat sampah, eh nih orang-orang pada seenak udel aja buang sampah sembarangan...Ya Allah..karena aku nggak ada tempat lagi, aku mohon ijin untuk membuang di sini ya..” begitu kira-kira pintaku dalam hati.

Saya sadar saya salah. Seandainya semua orang imannya selemah itu, gundukan sampah itu bukannya makin berkurang, malah bakal semakin tinggi. Saya sadar saya salah dan saya merasa menyesal. “Tapi, toh saya sudah berpikir dua kali untuk tidak membuang sampah sembarangan”, begitu kira-kira ego saya membela diri. Saya harap saya akan lebih kuat di kemudian hari, kuat untuk tidak membuang sampah sembarangan, kuat untuk tidak menjadi orang kebanyakan.

Saya berharap bahwa di hari selanjutnya saya bisa berfikir tiga kali untuk membuang sampah sembarangan, di hari esoknya empat kali, besoknya lagi lima dan begitu seterusnya hingga 1000 kali. Entah berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk berfikir mencari alasan ke 1001-nya. Pada saat itu, mungkin saya akan benar-benar begitu tertekan dan berfikir akan lebih baik jika saya masukkan saja sampah itu ke mulut saya.

Saya berharap begitu, saya berharap bahwa saya harus lebih baik. Lebih baik tertekan dan merasa bersalah karena tidak melakukan hal yang benar ketimbang berkubang dalam salah dan dosa tanpa perasaan apapun. Membuang sampah sembarangan adalah salah dan sudah seharusnya merasa bersalah.

Saya tidak menghitung, sampai hari ini berapa kali saya harus berfikir untuk tidak membuang sampah sembarangan, tapi paling tidak saya sudah pernah berpikir dua kali untuk membuang sampah sembarangan. Saya pikir itu cukup adil, Toh semua orang butuh waktu untuk berubah…

Menurut saya berfikir dua kali untuk tidak membuang sampah sembarangan sudah lebih baik, paling tidak kita sudah sedikit berbeda, paling tidak kita tidak seperti kebanyakan orang. “Ah…memang tidak mudah menjadi pecinta alam sejati…”. Bagaimanapun saya bersyukur pernah dididik nilai-nilai “sederhana” ini. Saya bersyukur bahwa saya ada di antara mereka yang memiliki nilai lebih, mereka yang memiliki pandangan (baik) yang berbeda, yang tidak seperti kebanyakan orang.

Kalau ditanyakan, apa salah satu perbedaan antara seorang pecinta alam dan yang bukan, saya akan menjawab sederhana. “Paling tidak, seorang pecinta alam akan berfikir dua kali untuk membuang sampah sembarangan”, saya pikir itu cukup adil, toh pecinta alam juga manusia, kita butuh waktu untuk berubah…(lebih baik).

0 comments:

Post a Comment

 
 
 

Blogwalking

 
Copyright © menurut saya