Menemukan sumber ketakutan kita

Sunday, December 27, 2009

“kita tidak akan pernah menjadi (lebih) berani tanpa mengetahui ketakutan kita”

Saya lupa darimana saya mendapatkan kata-kata di atas (jika anda tahu, tolong beritahu), mungkin dari seorang psikolog, seorang pembicara hebat, seorang motivator, politisi, artis atau siapalah…. namun bagaimanapun pengalaman hidup saya mengajarkan bahwa memang kita akan sulit untuk benar-benar menjadi berani tanpa benar-benar tahu apa yang menjadi sumber ketakutan kita.

Saya, sebagaimana juga anda, sebagaimana manusia biasa, kita semua pernah merasa takut. Sebagian orang bahkan lebih sering takut ketimbang bersikap berani. Kita semua, sebagaimana juga orang lainnya, sangat sadar-sepenuhnya-bahwa menjadi berani adalah penting. “Kita harus berani”, itulah kata yang sudah sangat sering coba ditanamkan ke dalam pikiran kita. Entah berapa banyak kita sudah memasukkan sugesti semacam itu untuk diri kita. Entah sugesti yang secara sadar kita lakukan sendiri maupun sugesti yang coba ditanamkan orang lain kepada kita. Intinya tetap sama, bahwa menjadi berani itu penting.

Pertanyaannya kemudian, sampai berapa lama kita bisa menjadi (lebih) berani?. Sampai berapa lama kita harus memasukkan sugesti itu semacam di atas, kepada kita?. Apa lagi yang kita butuhkan? Berapa orang yang mesti mensugesti kita agar kita kita bisa (lebih) berani?. Pengalaman seperti apa yang harus anda alami agar merasa lebih baik-agar merasa (lebih) berani?.
Konon, kebencian bisa member kita kekuatan (keberanian), konon penderitaan bisa member kita kekuatan. Lantas, penderitaan semacam apa yang harus kita temui untuk bisa (lebih) berani?. Apa lantas semua itu lalu bisa memberi kita perasaan yang lebih baik?

Seorang motivator pernah bilang, bahwa untuk menjadi berani, maka jangan takut (beranilah), untuk menjadi rajin, maka rajinlah (jangan malas), dan untuk menjadi bahagia, berbahagialah (jangan sedih). Lantas untuk menjadi “beranilah” itu bagaimana?, mungkin ini salah satu dari sekian banyak pendekatan untuk menjadi (lebih) berani. Temukanlah sumber ketakutan anda.

Jika anda takut pada ular, atau binatang buas lainnya itu adalah hal yang normal (lumrah), tentunya bukan ketakutan semcam itu yang kita bicarakan di sini. Adalah normal untk merasa takut kepada yang bisa menyakiti kita, bisa membahayakan kita, yang mengancam jiwa kita, yang bisa membuat kita terluka (secara fisik), dsb. Namun sayangnya ketakutan semacam itu bukan satu-satunya ketakutan kita.

Kita seringkali takut untuk sesuatu yang mungkin bagi orang lain, hal itu merupakan ketakutan yang menggelikan. Kadang kita takut untuk mencoba hal-hal baru dalam hidup, kita takut untuk mengambil keputusan, kita takut untuk berkenalan dengan orang-orang baru, takut untuk bertemu banyak orang, takut berbicara di depan banyak orang, dan lain sebagainya.

Tentunya anda yang paling tau diri anda, anda yang paling mengerti tentang masalah anda. Karena ketakutan itu ada dalam diri anda, maka hanya diri anda yang dapat menolong diri anda sendiri. Tentu kita tidak dapat membicarakan satu-persatu bagaimana kita bisa lepas dari jerat ketakutan, dan membuka diri untuk menjadi lebih berani di sini. Tapi mulailah saat ini anda benar-benar merenungkan tentang perasaan anda itu.

Misalnya, kenapa kita takut bertemu orang? Apa kita berbuat salah pada dia atau keluarganya? Apa pernah kita menyakitinya? Apakah kita seorang kriminal yang sedang dicari-cari ?. Apa ada yang salah dalam diri kita? Apa kita merasa malu dengan keadaan diri kita? Fisik kita? Atau ada kekurangan dalam diri kita? Apa menurut anda orang yang anda hadapi saat itu akan menjatuhkan anda dengan kekurangan itu? jika tidak, lantas apa yang anda takutkan? Dan jika iya, maka di mana letak kesalahannya? Apakah memang sudah sepantasnya anda diperlakukan tidak adil seperti itu (anda di hina, anda dilecehkan)? Atau apakah memang anda sebaiknya tidak dekat-dekat dengan orang semacam itu, karena ia adalah “racun” yang harus dienyahkan?. Apakah itu yang anda takutkan? Anda takut dipermalukan? Anda takut disakit secara psikologis?. Atau apa semua di atas itu salah? Lantas, apa yang benar?. Andaa akan selangkah lebih dekat dengan keberanian, begitu anda tau dengan pasti tentang apa yang sebenarnya anda takutkan.


BERFIKIR DUA KALI (untuk membuang sampah sembarangan)

Monday, December 21, 2009

Suatu hari saya pergi ke suatu tempat di alam terbuka (hiking) bersama dengan beberapa orang teman. Kami tergabung dalam suatu kelompok pecinta alam- Kelompok yang terkenal dengan kegiatan outdoor activitiesnya. Ketika beberapa lama kami berjalan, kami berhenti sejenak untuk beristirahat melepas lelah. Beberapa teman sibuk mengamati peta untuk mencari jalur terbaik untuk dilalui, beberapa ngobrol, dan yang lainnya ngemil. Saya termasuk yang ngemil, saya ambil permen dari saku saya & mengunyah dengan nikmat sambil menikmati alam sekitar.

Selagi menikmati permen, saya pegang bungkus permen, sedikit celingak-celinguk, mencari tempat di mana kira-kira saya bisa buang sampah bungkus permen itu. Tetapi, karena tidak ada tempat yang cocok, saya buang bungkus permen itu di begitu saja di sana, di alam yang seharusnya kami rawat dan pelihara, seperti semboyan kelompok pecinta alam kami.

Saya berpikir mungkin bukan hal yang bermasalah untuk hanya membuang sampah bungkus permen, toh, hanya bungkus permen, satu bungkus permen kecil. “Ah….alam ini terlalu luas untuk hanya sebungkus pemen..” Saya tidak menyadari bahwa seorang teman melihat perbuatan saya itu.
Teman saya ini memang lebih senior dari saya, ia yang mendidik teman seangkatan saya di kelompok pecinta alam ini. Ia tampak memperhatikan bungkus permen yang saya buang itu selama beberapa saat dan kemudian melihat ke arah saya. Tatapannya agak aneh, agak lama terdiam dan cukup tajam. “ ye…buang sampah lagi lo !! gimana sih, pecinta alam buang sampah”, Pungut!!”. Saya tiba-tiba tersentak, bukan karena kaget, bukan karena takut, bukan pula karena ia senior saya.

Saya kaget karena ternyata teman saya ternyata tidak main-main. Ia tidak main-main dengan jargon “menjaga kelestarian alam” yang selalu didengungkan oleh kelompok pecinta alam kami. Ia tidak main-main ketika dulu mengajari kami untuk menjadi pecinta alam sejati. Seorang petualang alam yang tidak boleh meninggalkan apapun di alam kecuali jejak. Bukan petualang kebanyakan. Petualang yang hanya bersenang-senang di alam dan meninggalkan banyak “kenangan” di alam. Kenangan berupa sampah dan botol minuman, dan bahkan tulisan-tulisan di alam sekitar. Tulisan-tulisan yang ingin sekali menegaskan tentang keberadaan mereka di sana, bak prasasti Raja-raja jaman dahulu.


Teman saya masih memegang teguh prinsip itu, bahkan di saat acara jalan-jalan santai seperti yang kami lakukan. “Jadi, itu semua bukan jargon doang ya…”, kira-kira begitu mungkin saya bergumam dalam hati. Sejujurnya saya malu pada saat itu, malu karena ternyata saya belum menjadi seperti apa yang pernah diajarkannya kepada saya. “Ah….kemana saja otak saya, sampai-sampai tidak terpikir untuk sementara membuang sampah itu di kantong…”.
Teman saya benar, seandainya semua orang penikmat alam seperti saya, membuang bungkus permen mereka masing-masing, satu bungkus, dua bungkus, lagi dan lagi…lantas mau jadi apa alam ini?. Mungkin suatu hari yang kita daki bukan lagi gundukan tanah, tapi gundukan sampah.

Sejak kejadian itu, saya sedikit tersadar. Penting sekali untuk benar-benar konsisten. Penting sekali untuk bersikap peduli, benar-benar peduli lingkungan. Penting sekali untuk tidak menjadi orang kebanyakan. Bahkan untuk hal-hal yang (tampak) kecil dan sederhana seperti ini, bungkus pemen.

Mulai hari itu saya berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya akan lebih memperhatikan hal-hal seperti itu (sampah). Saya berjanji untuk lebih peduli dan berpikir dua kali untuk membuang sampah sembarangan. Jika pada akhirnya saya harus membuang sampah, paling tidak saya sudah berpikir dua kali. Saya pikir itu cukup baik, toh semua orang butuh proses untuk menjadi lebih baik…

Mungkin saya belum benar-benar seorang pecinta alam sejati, seorang yang benar-benar konsisten menjaga alam dan tidak mengotorinya. Terkadang saya masih juga bandel membuang sampah dengan berbagai alasan; tidak ada kantong, tidak bawa tas, tidak ada satupun tempat di pakaian yang melekat di badan, untuk dapat dijadikan TPS (Tempat Pembuangan Sementara), ataupun karena tepat di depan mata saya; di stasiun kereta, terminal bis, pasar-pasar, jalan umum dll, sudah terdapat gundukan sampah yang menjulang tinggi.”Ya…elah…gue repot-repot mikirin tempat sampah, eh nih orang-orang pada seenak udel aja buang sampah sembarangan...Ya Allah..karena aku nggak ada tempat lagi, aku mohon ijin untuk membuang di sini ya..” begitu kira-kira pintaku dalam hati.

Saya sadar saya salah. Seandainya semua orang imannya selemah itu, gundukan sampah itu bukannya makin berkurang, malah bakal semakin tinggi. Saya sadar saya salah dan saya merasa menyesal. “Tapi, toh saya sudah berpikir dua kali untuk tidak membuang sampah sembarangan”, begitu kira-kira ego saya membela diri. Saya harap saya akan lebih kuat di kemudian hari, kuat untuk tidak membuang sampah sembarangan, kuat untuk tidak menjadi orang kebanyakan.

Saya berharap bahwa di hari selanjutnya saya bisa berfikir tiga kali untuk membuang sampah sembarangan, di hari esoknya empat kali, besoknya lagi lima dan begitu seterusnya hingga 1000 kali. Entah berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk berfikir mencari alasan ke 1001-nya. Pada saat itu, mungkin saya akan benar-benar begitu tertekan dan berfikir akan lebih baik jika saya masukkan saja sampah itu ke mulut saya.

Saya berharap begitu, saya berharap bahwa saya harus lebih baik. Lebih baik tertekan dan merasa bersalah karena tidak melakukan hal yang benar ketimbang berkubang dalam salah dan dosa tanpa perasaan apapun. Membuang sampah sembarangan adalah salah dan sudah seharusnya merasa bersalah.

Saya tidak menghitung, sampai hari ini berapa kali saya harus berfikir untuk tidak membuang sampah sembarangan, tapi paling tidak saya sudah pernah berpikir dua kali untuk membuang sampah sembarangan. Saya pikir itu cukup adil, Toh semua orang butuh waktu untuk berubah…

Menurut saya berfikir dua kali untuk tidak membuang sampah sembarangan sudah lebih baik, paling tidak kita sudah sedikit berbeda, paling tidak kita tidak seperti kebanyakan orang. “Ah…memang tidak mudah menjadi pecinta alam sejati…”. Bagaimanapun saya bersyukur pernah dididik nilai-nilai “sederhana” ini. Saya bersyukur bahwa saya ada di antara mereka yang memiliki nilai lebih, mereka yang memiliki pandangan (baik) yang berbeda, yang tidak seperti kebanyakan orang.

Kalau ditanyakan, apa salah satu perbedaan antara seorang pecinta alam dan yang bukan, saya akan menjawab sederhana. “Paling tidak, seorang pecinta alam akan berfikir dua kali untuk membuang sampah sembarangan”, saya pikir itu cukup adil, toh pecinta alam juga manusia, kita butuh waktu untuk berubah…(lebih baik).

Belajar dari seorang supir

Thursday, December 10, 2009

Siang ini saya ada tugas ke luar kantor, diantar oleh supir kantor. Ada yang menarik sewaktu saya mengamati perilaku supir ini. Sepanjang perjalanan, dia sangat sering menggunakan telepon. telpon ke sana ke mari. sedikit heran tentang berapa biaya yang harus dia keluarkan untuk aktifitas komukasinya itu. namun sejauh yang pengamatan saya, supir yang satu ini cukup produktif dalam menggunakan alat komunikasinya.

Dia menggunakan alat komunikasi (hp) untuk menghubungi beberapa orang yang sepertinya terkait dengan masalah bisnis. ya, ini yang saya suka dari orang-orang macam ini. meskipun dia seorang supir, dia berusaha keras untuk mencari penghasilan tambahan. saya sangat mengapresiasi itu. namun, di sini saya tidak ingin membicarakan hal tersebut.

Sebenarnya ada hal lain yang membuat saya terkesan dengan supir yang satu ini, yaitu cara dia untuk tetap dekat dengan keluarganya. Sepanjang kurang lebih 3 jam perjalanan, mungkin dia telah lebih dari 2 (dua) kali menelpon anak dan istrinya. menanyakan kabar, menanyakan tentang aktifitas yang sedang mereka lakukan, menanyakan apa mereka sudah makan atau belum.

Terus terang, mungkin bagi sebagian orang hal tersebut sama sekali tidak menarik. mereka yang memandang tidak menarik bisa karena berbagai alasan. yang pertama, bisa saja mereka beranggapan bahwa hal tersebut adalah hal yang sangat lumrah dan biasa mereka lakukan, sehingga tidak ada yang istimewa untuk dipuji dan diapresiasi atau kemungkinan lain adalah bahwa tindakan supir tersebut benar-benar "tidak masuk hitungan" untuk diapresiasi, bukan karena mereka biasa memperlakukan keluarga mereka demikian, namun karena mereka justru tidak pernah memperlakukan mereka demikian.

Orang-orang tipe kedua ini sebetulnya sudah terbiasa atau mungkin sudah membiasakan diri untuk bersikap tidak ambil bagian dari kehidupan keluarga. mereka, orang-orang ini bisa juga kita sebut orang yang cuek terhadap keluarganya. mereka tidak tertarik untuk menghubungi kelauara mereka. Mungkin bagi mereka menanyakan kabar, menanyakan apakah anak-anak dan istri mereka sudah makan atau belum adalah suatu yang basa-basi dan membuang-buang waktu.

Saya tidak ingin menghakimi siapapun. saya hanya ingin belajar dari supir ini. saya belajar banyak hari ini. belajar dari seorang supir, tentang bagaimana membina hubungan keluarga yang baik. Saya mungkin tidak betul-betul mengenal baik si supir ini. Yang saya tau adalah bahwa dia sudah menunjukkan kasih sayangnya terhadap keluarganya.

Saya ingin belajar dari supir ini. saya ingin, ketika saya membina hubungan keluarga kelak, saya berjanji untuk melakukan hal yang sama terhadap istri dan anak saya. Sesibuk apapun saya, saya ingin sekali berjanji bahwa saya akan menanyakan kabar keluarga saya tercinta. Saya ingin berjanji untuk melakukan itu. Saya berharap saya tidak mengingkari janji saya ini. Saya berharap saya tidak cukup kaku menghadapi rumah tangga saya kelak.

Saya tidak ingin melangkan salah. Saya sadar kekurangan diri saya. Saya orang yang kaku dan membosankan. Saya serius dan sulit untuk bersantai. Saya tidak ingin berasalan dengan sikap saya itu. Saya tidak ingin kompromi. Mungkin sulit bagi orang-orang seperti saya untuk bisa mengekspresikan perasaan/kasih sayang. Saya yakin saya bukan satu-satunya. Ada banyak orang di luar sana yang senasib dengan saya. mereka yang benar-benar sadar pentingnya hubungan baik dan kasih sayang, tetapi tidak pernah dapat menunjukkan ekspresinya.

Saya tidak mau mencari kambing hitam, saya tidak mau mencari-cari alasan untuk tidak seperti si supir. Saya harus sangat mudah untuk tersenyum, tertawa dan bercanda dengan keluarga saya kelak. Saya bangga dengan seorang ayah dan suami yang humoris, yang tidak hanya memberikan ketentraman bagi keluarganya, tetapi juga kehangatan dalam rumah tangga. Saya harus bisa melakukan semua itu. Saya harus belajar dari supir itu dan saya harus lebih berhasil darinya.

 
 
 

Blogwalking

 
Copyright © menurut saya